BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Behaviorisme
atau Aliran Perilaku (juga disebut Perspektif Belajar) adalah filosofi dalam
psikologi yang berdasar pada proposisi bahwa semua yang dilakukan organisme —
termasuk tindakan, pikiran, atau perasaan— dapat dan harus dianggap sebagai
perilaku. Aliran ini berpendapat bahwa perilaku demikian dapat digambarkan
secara ilmiah tanpa melihat peristiwa fisiologis internal atau konstrak
hipotetis seperti pikiran. Behaviorisme beranggapan bahwa semua teori harus
memiliki dasar yang bisa diamati tapi tidak ada perbedaan antara proses yang
dapat diamati secara publik (seperti tindakan) dengan proses yang diamati secara
pribadi (seperti pikiran dan perasaan).
Dan untuk
lebih jelasnya lagi kami akan membahasnya pada bab pembahasan yaitu Aplikasi
teori belajar Bihaviorisme.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian dari Bihaviorisme?
2. Bagaimana Analisis Tentang Teori Behavioristik?
3. Bagaimana Aplikasi Teori Behavioristik dalam K?egiatan
Pembelajaran?
1.3 Tujuan Pulisan
1. Untuk mengidentifikasikan pengertian Tori
Bihaviorisme
2. Untuk mengetahui Analisis tentang Teori Bihaviorisme
3. Untuk mengetahui Aplikasi Teori Behavioristik dalam
K?egiatan Pembelajaran
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Belajar Menurut Pandangan Teori Behavioristik
Menurut teori behavioristik belajar adalah
perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman (Gage, Berliner, 1984)
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin,
2000). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan
perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah
input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa
saja yang diberikan guru kepada siswa, sedangkan respon berupa reaksi atau
tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses
yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena
tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus
dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa
yang diterima oleh siswa (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini
mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk
melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran
behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan
ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula
bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka responpun akan
semakin kuat.
Beberapa prinsip dalam teori belajar
behavioristik, meliputi:
(1) Reinforcement and
Punishment;
(2) Primary and Secondary Reinforcement;
(3) Schedules of
Reinforcement
(4) Contingency Management;
(5)
Stimulus Control in Operant Learning
(6) The Elimination of Responses (Gage,
Berliner, 1984).
Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya
adalah Thorndike,Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan
dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik.
2.2.1 Teori Belajar Menurut
Thorndik
Menurut Thorndike, belajar adalah proses
interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya
kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat
ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan
peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau
gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat
berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak
dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran,
tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak
dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme
(Slavin, 2000).
Ada tiga hukum belajar yang utama, yakni (1)
hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991).
Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat
respon.
2.2.2 Teori Belajar Menurut
Watson
Watson mendefinisikan belajar sebagai proses
interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud
harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui
adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar,
namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu
diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris
murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain
seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik
semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.
2.2.3 Teori Belajar Menurut Clark Hull
2.2.3 Teori Belajar Menurut Clark Hull
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan
antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia
sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya
teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar
organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan
biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah
penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus
(stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan
biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam.
Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan
kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).
2.2.4 Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
2.2.4 Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum
kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada
waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell,
Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon
untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan
terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon
lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang
baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru.
Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam
kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar
hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga
percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses
belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah
laku seseorang
.Saran utama dari teori ini adalah guru harus
dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Siswa harus dibimbing
melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh
memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).
2.2.5 Tori Belajar Menurut Skinner
Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner
tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu
menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut
Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi
dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku,
tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya
respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus
yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan
mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki
konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya
mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami
tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus
yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan
berbagai konsekuaensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga
mengmukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat
untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab
setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
2.2. Analisis Tentang Teori Behavioristik
2.2. Analisis Tentang Teori Behavioristik
Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar
sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment
menjadi stimulus untuk merangsang siswa dalam berperilaku. Pendidik yang masih
menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan
menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu
keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki,
dari yang sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997).
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para
pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar
pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program
pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan
program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan
stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement),
merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan
Skiner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena
seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak
variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang
dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak
mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan
stimulus dan respon.
Pandangan behavioristik juga kurang dapat
menjelaskan adanya variasi tingkat emosi siswa, walaupun mereka memiliki
pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa
dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama,
ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas
sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui
adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan
adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang
diamati tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung
mengarahkan siswa untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak
produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau
shaping, yaitu membawa siswa menuju atau mencapai target tertentu, sehingga
menjadikan peserta didik untuk tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal
banyak faktor yang berpengaruh yang mempengaruhi proses belajar. Jadi teori
belajar tidak sesederhana yang dilukiskan teori behavioristik.
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori
behavioristik memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan
pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative
reinforcement) cenderung membatasi siswa untuk berpikir dan berimajinasi.
Menurut Guthrie hukuman memegang peranan
penting dalam proses belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak
sependapat dengan Guthrie, yaitu:
1) Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara.
2) Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama.
1) Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara.
2) Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama.
3)
Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan
buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong
si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada
kesalahan yang diperbuatnya.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut
sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman.
Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus)
agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat
negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi
semakin kuat. Misalnya, seorang siswa perlu dihukum karena melakukan kesalahan.
Jika siswa tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus
ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan siswa (sehingga ia melakukan
kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong siswa
untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif.
Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement).
Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat
positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat
respons.
2.3 Aplikasi
Teori Behavioristik dalam Kegiatan Pembelajaran
Aliran psikologi belajar yang sangat besar mempengaruhi
arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini
adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku
yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya,
mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau
perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya
perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang
bila dikenai hukuman.
Istilah-istilah
seperti hubungan stimulus respon, individu atau siswa pasif, perilaku sebagai
hasil yang tampak, pembentukan perilaku (shaping) dengan penataan kondisi
secara ketat, reinforcement dan hukuman, ini semua merupakan unsur-unsur yang
sangat penting dalam teori behavioristik. Teori ini hingga sekarang masih
merajai praktek pembelajaran di Indonesia. Hal ini tampak dengan jelas pada
penyelenggaraan pembelajaran dari tingkat yang paling dini, seperti kelompok
bermain, Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, bahkan sampai
Perguruan Tinggi, pembentukan perilaku dengan cara drill (pembiasaan) disertai
dengan reinforcement atau hukuman masih sering dilakukan.
Aplikasi teori behavioristik
dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan
pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas
pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori
behvioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak
berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah
perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer
of knowledge)ke orang yang belajar atau siswa. Fungsi mind atau pikiran adalah
untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang
dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses
berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan
tersebut. Siswa diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap
pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru
itulah yang harus dipahami oleh murid (Degeng, 2006).
Demikian halnya dalam proses belajar
mengajar, siswa dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi
dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan
kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standart-standart tertentu dalam
proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para siswa. Begitu juga dalam
proses evaluasi belajar siswa diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat
diamati sehingga hal-hal yang bersifat unobservable kurang dijangkau dalam
proses evaluasI
Implikasi dari teori behavioristik dalam
proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi
siswa untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri.
Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam
menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau
robot. Akibatnya siswa kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang
ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang
bahwa sebagai pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka siswa atau
orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan
ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat
esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan
penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan
dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar
atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah.
Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan
belajar. Siswa atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan
aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar
diri siswa (Degeng, 2006).
Tujuan pembelajaran menurut teori
behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi
aktivitas “mimetic”, yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan
yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau
materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi
fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti
urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak
didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan
mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan
evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila siswa menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan siswa secara individual (Degeng, 2006).
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila siswa menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan siswa secara individual (Degeng, 2006).
BAB
III
KESIMPULAN
Menurut teori behavioristik belajar adalah
perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman (Gage, Berliner, 1984)
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin,
2000). Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike,Watson,
Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Tujuan pembelajaran menurut teori
behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi
aktivitas “mimetic”, yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan
yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau
materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi
fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan
DAFTAR PUSTAKA
Diakses
pada tanggal 29 Maret 2012 pukul 04.30 Wib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar